Sudahkah Indonesia Memiliki “Sustainable and Clean Energy”?

Sudahkah Indonesia Memiliki “Sustainable and Clean Energy“?

Hallo Sobat Renux!!!

Di era milenial saat ini pasti teman-teman tak pernah lepas dari gadget, laptop, TV, dan berbagai peralatan elektronik lainnya. Tapi apakah teman-teman tau dari mana listrik kita berasal dan sudahkah sumber energi tersebut termasuk sustainable and clean energy? Yuk, mari kita bahas satu per satu. Sebelum mengetahui darimana sumber energi kita berasal, kita pahami apa maksud dari sustainable and clean energy dahulu.  

Sustainable and Clean Energy

Sustainable energy (dalam bahasa Indonesia berarti energi berkelanjutan) memiliki maksud bahwa sumber energi tersebut dapat bertahan dalam jangka panjang atau waktu yang lama. Artinya, energi yang dihasilkan akan selalu ada dan tidak akan habis. Sumber energi berkelanjutan seperti, angin, air, panas bumi. Dengan kata lain bahwa energi berkelanjutan merupakan energi yang dapat diperbarui (renewable energy).

Energi berkelanjutan memiliki beberapa keunggulan seperti,

  • Mampu menggantikan peran dari energi fosil.
  • Sumber energinya tidak akan habis karena selalu tersedia.
  • Saat beroperasi tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O).

Sumber energi yang tidak menghasilkan (atau sangat sedikit) menghasilkan gas rumah kaca dapat dikatakan energi bersih (clean energy) atau juga biasa disebut dengan energi hijau. Sehingga, renewable energy dapat dikatakan sebagai clean energy. Selain itu, terdapat pula energi nuklir yang merupakan energi bersih juga.

Kita dapat mengetahui kuantitas emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari sebuah pembangkit listrik melalui life cylce assessment (LCA). LCA dilakukan untuk menganalisa berapa besar emisi gas rumah kaca dari proses awal hingga akhir (penambangan bahan-produksi-pengolahan-didistribusikan-limbah). Analisis ini tidak hanya memperhitungkan produksi gas rumah kaca dari ketika pembangkit beroperasi saja melainkan proses pembuatan dan distribusi juga diperhitungkan.

Gambar 1 menunjukan life cycle green house gas emission (siklus hidup emisi gas rumah kaca) dari setiap pembangkit listrik. Berdasar data ini menunjukan bahwa renewable energy dan energi nuklir merupakan pilihan yang tepat digunakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Gambar 1. Siklus Hidup Emisi Gas Rumah Kaca. Sumber : Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

Sumber Energi di Indonesia

Dilansir dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga Juni 2020 kapasitas pembangkit listrik nasional yang terpasang di Indonesia sebesar 71 Gigawatt (GW). Listrik yang dihasilkan di negara kita ternyata berasal dari berbagai macam pembangkit listrik seperti, uap, diesel, gas, air, dan panas bumi.  

Gambar 2. Kapasitas Pembangkit Listrik Terpasang di Indonesia Tahun 2020. Sumber : Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Pembangkit listrik tersebut dapat diklasifikasikan menjadi sumber energi yang tidak dapat diperbarui dan dapat diperbarui.

  • Sumber energi tidak dapat diperbarui 

PLTU batubara dan PLT diesel merupakan pembangkit listrik dengan sumber energi tidak dapat diperbarui (energi fosil). Hal ini dikarenakan bahan bakar yang digunakan dapat habis dan tidak diperbarui, seperti batubara dan minyak bumi dimana proses pembentukannya berasal dari fosil yang memerlukan waktu lama.

  • Sumber energi dapat diperbarui 

PLT air, PLT panas bumi dan PLT surya merupakan pembangkit listrik dengan sumber energi dapat diperbarui. Sumber energi ini dapat dikatakan ramah lingkungan karena tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca sehingga cocok bila digunakan untuk menggantikan energi fosil.

Sehingga, pada tahun 2020 pemanfaatan EBT sekitar 14,69% atau 10467 MegaWatt (MW). Pemerintah tengah berupaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari sumber energi fosil. Hal ini merupakan salah satu aksi kesepakatan perjanjian Paris (Paris Agreement) dari 195 negara pada tahun 2015 dimana menjaga kenaikan suhu bumi tidak melebihi 2°C.   

Skema yang dilakukan pemerintah adalah transisi dari energi fosil menuju EBT dengan meningkatkan proporsi penggunaan pembangkit listrik EBT di Indonesia. Hal ini tertuang dalam  Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dimana pemanfaatan EBT pada tahun 2025 dan 2050 sebesar, 23% dan 31% secara berturut-turut. Melalui skema ini, Indonesia turut andil dalam kesepakatan perjanjian Paris dan dapat mencapai Net Zero Emission (NZE).

Kesimpulan

Energi Baru Terbarukan (EBT) atau renewable energy adalah pilihan yang tepat digunakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Skema transisi energi fosil menuju EBT akan mewujudkan sustainable and clean energy di negeri kita. Tindakan ini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya pemanasan global dan meningkatnya suhu bumi lebih dari 2°C.

Jika ada pertanyaan dapat tuliskan di kolom komentar di bawah.
Ingin mengetahui info menarik seputar iklim, teknologi energi terbarukan, dan potensi pengemabangannya di Indonesia, bisa pantau terus sosial media kami.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Layanan Renux